Jakarta | AndoraNews : Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap TB, Direktur Pemberitaan JakTV, dan 2 orang pengacara, oleh tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) masih terus bergulir dan menjadi polemik, baik di mata sebagian jurnalis maupun dari pihak Kejagung. Kejagung
Sekjen MataHukum, Mr Mukhsin Nasir, justru mengapresiasi langkah tim penyidik pada Jampidsus Kejagung yang menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan terhadap TB, Direktur Pemberitaan JakTV, dan 2 oknum pengacara terkait dugaan konspirasi merintangi penyidikan korupsi yang tengah dilakukan tim penyidik pada Jampidsus Kejagung.
“UU Pers bukan untuk memberi perlindungan kepada seorang jurnalis bila terlibat suatu pemufakatan kejahatan hukum, meskipun si jurnalis itu melakukan kegiatan jurnalisnya atau menyajikan suatu pemberitaan tetapi pemberitaan yang dia muat adalah hasil dari pemufakatan kejahatan hukum transaksional dari perbuatan melawan hukum suap menyuap,” ujar Mukhsin dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/04/2025).
“Maka si jurnalis tersebut dapat diterapkan undang undang korupsi atas perbuatannya,sehingga penerapan UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik tidak dapat diterapkan pada sang jurnalis tersebut,” jelas Mukhsin
Menurut Mukhsin, harus dibedakan mana pelanggaran UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik dan mana pelanggaran pidana atau kejahatan hukum.
“Trial by the press” atau “peradilan oleh pers” adalah istilah yang merujuk pada situasi di mana media massa, melalui pemberitaan yang berlebihan, sepihak, dan tidak proporsional, melakukan “peradilan” terhadap seseorang, terlebih jika orang tersebut masih dalam proses peradilan di pengadilan.
Dalam konteks ini, pers seolah-olah bertindak sebagai hakim dan juri, menghakimi seseorang tanpa melalui proses hukum yang adil.
- Peradilan Sepihak : Pemberitaan yang tidak seimbang, cenderung mengarah pada kesimpulan bersalah, dan kurang memperhatikan prinsip praduga tak bersalah.
- Menimbulkan opini publik: Pemberitaan yang berlebihan dapat menciptakan opini publik yang kuat, sehingga memicu tekanan terhadap pihak yang bersangkutan dan proses hukum.
- Mencoreng reputasi: Pemberitaan yang tidak bertanggung jawab dapat merusak reputasi seseorang, bahkan sebelum pengadilan menjatuhkan putusan.
- Melanggar asas fair trial: “Trial by the press” bertentangan dengan prinsip fair trial yang menjamin peradilan yang adil dan tidak berat sebelah.
- Bukan hak pers: Meskipun pers memiliki hak untuk memberitakan, namun pemberitaan harus bertanggung jawab, tidak sepihak, dan tidak mengganggu jalannya proses hukum.
Jadi, tambah Mukhsin, TB bukan melanggar kode etik jurnalis, tetapi Dia terlibat dalam pemufakatan kejahatan hukum dan bagian dari transaksional suap menyuap.
Mukhsin menegaskan, terlibat suap menyuap atau terlibat dalam pemerasan itu perbuatan pidana yang tidak bisa dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik sebagai mana UU Pers.
UU Pers, lanjut Mukhsin, bukan untuk memberi perlindungan kepada seorang jurnalis bila terlibat suatu pemufakatan kejahatan hukum, meskipun si jurnalis itu melakukan kegiatan jurnalisnya atau menyajikan suatu pemberitaan tetapi pemberitaan yang dia muat adalah hasil dari pemufakatan kejahatan hukum transaksional dari perbuatan melawan hukum suap menyuap.
“Maka si jurnalis tersebut dapat terapkan undang undang korupsi atas perbuatannya, sehingga penerapan UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik tidak dapat diterapkan pada sang jurnalis tersebut,” tutur Mukhsin.
Dia menyatakan harus dibedakan mana pelanggaran UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik dan mana pelanggaran pidana atau kejahatan hukum.
Bukan lagi kejahatan kode etik jurnalis akan tetapi kejahatan hukum atau melawan hukum
“Tidak bisa dikaitkan atau diterapkan UU Pers atau kode etik pers bila terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sesuai unsur pidana dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan atau terlibat dalam pemufakatan kejahatan hukum,” beber Mukhsin.
Dia pun mencontohkan, bila seorang jurnalis terlibat dalam tindak pidana pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang, maka dia sebagai jurnalis tidak dapat mendapat perlindungan UU pers atau kode etik pers, karena tindak pidana yang dilakukan adalah sebuah kejahatan hukum.
Menghakimi seseorang dengan pemberitaan terus menerus karena ada unsur niat jahat, maka perbuatannya adalah perbuatan kejahatan hukum yang harus dia pertanggung jawabkan sesuai tindak pidana dari perbuatannya.
“Bukan merupakan pelanggaran UU Pers atau kode etik pers,” tandasnya.
Mukhsin menyatakan, penjelasannya itu bertujuan untuk menjunjung tinggi kewibawaan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik agar tujuan UU Pers dan kode etik hanya dapat memberi perlindungan dari pelanggaran UU pers tersebut.
“Bukan memberi perlindungan terhadap adanya kejahatan hukum suatu perbuatan tindak pidana yang terjadi pada pada seorang oknum jurnalis,” tutur Mukhsin. (Syamsuri)

