Jakarta | AndoraNews : Dugaan keterlibatan aparat dalam pembiaran aktivitas ilegal kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, nama Kapolres Muna menjadi sorotan setelah dilaporkan oleh Aliansi Pemuda Anti Korupsi (APAK) ke Divisi Propam Mabes Polri, terkait dugaan perlindungan terhadap dua pabrik yang dianggap tidak memiliki izin resmi. Kapolres
Laporan yang diajukan oleh Koordinator APAK, Hasidi, telah resmi teregistrasi dengan nomor SPSP2/002573/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 10 Juni 2025. Pengaduan ini disampaikan langsung ke bagian layanan pengaduan Propam Polri di Jakarta.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa terdapat dua pabrik satu pabrik pengolahan jagung di Desa Bea dan satu lagi pabrik pengolahan padi di Desa Bente, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang beroperasi tanpa dokumen legal yang sah. Diduga, pembangunan kedua pabrik ini menggunakan skema Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), namun tidak disertai dengan dokumen seperti sertifikat tanah, AMDAL, maupun izin bangunan.
“Bangunan tersebut melanggar tata ruang dan tidak memiliki izin operasi resmi. Namun anehnya, justru Kapolres hadir saat acara peresmian pabrik jagung yang belum berizin tersebut,” ungkap Hasidi usai memberikan laporan di Mabes Polri.
Tak hanya bermasalah secara administratif, pabrik-pabrik tersebut juga dikabarkan telah memunculkan keresahan sosial di masyarakat. APAK menyebut bahwa ada dugaan intimidasi dan aksi teror yang dilakukan oleh oknum tertentu terhadap warga. Dua laporan kasus intimidasi yang terjadi pada 6 Januari 2025 dan 15 April 2024 telah disampaikan ke Polres Muna dan Polsek Kabawo, namun hingga kini belum mendapat penanganan serius.
Lebih lanjut, Hasidi memaparkan bahwa dalam proses penyelidikan internal Polres Muna tahun 2024, pabrik jagung di Desa Bea bahkan dinyatakan tidak memiliki legalitas. Hasil tersebut tertuang dalam dokumen SP2HP bernomor B/202/IX/Res.3.3/2024/Reserse, namun penyelidikannya dihentikan tanpa penjelasan.
“Penyelidikan menunjukkan pabrik itu ilegal, tetapi proses hukum tiba-tiba berhenti. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada kekuatan yang melindungi keberadaan pabrik ini?” tambah Hasidi.
Dari sisi dampak ekonomi, keberadaan dua pabrik tersebut juga diklaim merugikan petani lokal. Sejumlah petani mengaku hasil panennya dibeli dengan harga rendah, bahkan ada yang belum menerima pembayaran sama sekali.
Ironisnya, kata Hasidi, aparat penegak hukum yang seharusnya berada di garis depan menindak praktik ilegal justru terlihat hadir dalam kegiatan yang melegitimasi keberadaan pabrik bermasalah itu.
“Pernyataan dari Kapolsek setempat yang mengatakan tidak ingin mencari-cari kesalahan, padahal tahu pabrik bermasalah, menunjukkan adanya pembiaran sistemik,” katanya.
Sebagai bentuk tindak lanjut, APAK menuntut agar Kapolri mencopot Kapolres Muna dari jabatannya, serta memproses dugaan keterlibatannya dalam melindungi kegiatan ilegal dan aksi premanisme.
Laporan terkait dugaan korupsi dalam pembangunan dan pengelolaan pabrik juga telah dilayangkan ke Bareskrim Mabes Polri. Selain itu, APAK juga telah meminta perlindungan hukum untuk menghindari tekanan dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini.
“Kasus ini bukan sekadar soal bangunan tanpa izin. Ini menggambarkan bagaimana sistem kekuasaan bisa berubah menjadi alat pelindung kejahatan ketika aparat kehilangan keberpihakan terhadap hukum,” tutup Hasidi dengan nada tegas. (red)