Oleh: Siti Khoiriyah Hatala
Mahasiswi Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Abdul Muthalib Sangadji Ambon ekonomi
Pemerintah kembali pamer angka: ekonomi tumbuh 5,17% di kuartal II 2025. Disambut tepuk tangan, penuh klaim keberhasilan. Tapi mari kita buka mata:
- Harga beras masih melambung.
- Anak muda masih bingung cari kerja.
- Petani dan nelayan masih menjerit karena harga jual tak sebanding dengan keringat.
Lalu, pertanyaan yang menggelitik hati muncul: ekonomi tumbuh untuk siapa? Karena yang terlihat, rakyat justru kian meringis di tengah gegap gempita statistik.
Angka-angka yang Menipu
Statistik pertumbuhan hanyalah catwalk yang indah dilihat, tapi rapuh di dalam. Pemerintah sibuk memoles angka, seakan itu obat mujarab. Padahal, rakyat tidak makan persentase, mereka makan nasi. Mereka tidak hidup dari grafik naik, tapi dari penghasilan yang nyata.
Apakah ini pembangunan, atau sekadar pesta angka untuk memuaskan elit?
Ekonomi Syariah: Suara yang Terlupakan
Di saat sistem konvensional gagal menghadirkan keadilan, ekonomi syariah hadir sebagai solusi nyata. Bukan wacana, tapi sistem yang dibangun atas keadilan, pemerataan, dan keberkahan.
Tiga kunci yang sering diabaikan pemerintah, tapi justru bisa menyelamatkan bangsa:
- Distribusi Kekayaan yang Adil: Zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan sekadar amal, tapi instrumen ekonomi. Potensi zakat Indonesia mencapai Rp327 triliun per tahun, namun yang tergarap baru Rp30 triliun. Potensi ini ibarat harta karun yang dibiarkan berdebu.
- Pemberdayaan UMKM Tanpa Jeratan Riba : UMKM adalah tulang punggung ekonomi, penyumbang lebih dari 60% PDB nasional. Tapi banyak terjerat utang konvensional. Pembiayaan syariah bisa jadi “oksigen” yang menolong mereka bertahan sekaligus tumbuh.
- Ekonomi Berkelanjutan : Syariah tidak sekadar mengejar profit, tapi memastikan keberkahan: halal, etis, ramah lingkungan. Sebuah jawaban atas dunia yang semakin serakah dan merusak bumi.
Sindiran untuk Pemerintah, Panggilan untuk Kita
Ironis, ketika pejabat sibuk pidato tentang pertumbuhan, rakyat justru sibuk memikirkan besok makan apa. Pemerintah tampak berlari mengejar pertumbuhan, tapi lupa memperhatikan pemerataan.
Namun, kita tidak boleh terus menunggu belas kasih. Perubahan bisa dimulai dari kita:
– Menyalurkan zakat dan wakaf ke lembaga yang amanah.
– Mendukung UMKM halal dan produk lokal.
– Menghidupkan literasi ekonomi syariah di kampus, masjid, dan komunitas.
Karena bangsa ini tidak akan maju hanya dengan janji, tapi dengan aksi nyata dari rakyat yang sadar.
*Saatnya Syariah Bicara*
Sudah cukup kita dibuai oleh statistik indah tapi hampa makna. Saatnya kita dengarkan suara lain: suara syariah, yang menyerukan keadilan, keberkahan, dan kesejahteraan untuk semua.
Kalau sistem konvensional terus menguntungkan segelintir orang, maka syariah hadir untuk memastikan tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang tertindas.
“Karena ekonomi sejati bukan tentang segelintir orang yang kaya raya, tapi tentang semua orang yang bisa hidup layak dan bermartabat”.