Padang | AndoraNews: Padang kembali bersiap menghadapi gelombang aksi besar yang digelar secara beruntun di dua titik utama pada Minggu hingga Senin, 31 Agustus–1 September 2025. Ribuan massa dari berbagai elemen mahasiswa dan serikat pekerja dipastikan turun ke jalan membawa tuntutan yang terhubung langsung dengan isu nasional. Padang
Aksi pertama berlangsung pada Minggu (31/8) di Mapolda Sumatera Barat. Massa berkumpul sejak pukul 14.00 WIB di titik kumpul Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas (Unand) Jati
bergerak menuju lokasi. Jalur mitigasi disiapkan melalui FKG Unand dan Pascasarjana untuk mengantisipasi kemungkinan pembubaran.
Di Polda Sumbar, massa menyerukan tiga tuntutan utama: sinkronisasi dengan tuntutan nasional, pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta reformasi institusi Polri. Sementara Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menambahkan desakan agar ada transparansi atas kasus tujuh pelaku yang tengah disorot publik.
Koordinator aksi menegaskan, massa tidak akan membubarkan diri sebelum Kapolda Sumbar memberikan pernyataan sikap resmi atas tuntutan tersebut. Jika tuntutan diabaikan, massa mengancam akan melayangkan mosi tidak percaya terhadap pimpinan Polda.
Sehari berselang, Senin (1/9), gelombang aksi berlanjut di DPRD Sumatera Barat. Massa bergerak longmarch dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang (FBS UNP) menuju gedung DPRD dengan rute jalur tepi Banda ke arah kampus Universitas Bung Hatta dan FBS UNP.
Tuntutan di DPRD jauh lebih luas, mulai dari desakan politik hingga isu lingkungan. Di antaranya penurunan Presiden-Wakil Presiden Prabowo-Gibran, pembubaran Kabinet Merah Putih dan DPR RI, penolakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, serta penuntutan terhadap politisi Fadli Zon atas pernyataannya terkait tragedi 1998 dan Bung Hatta. Selain itu, massa menolak Rancangan KUHP Anti-Pemerasan (RKHUAP), menuntut transparansi gaji DPR, membatalkan tunjangan rumah dan rencana kenaikan gaji anggota dewan, hingga menghentikan izin geothermal di Sumbar dan konsesi hutan di Mentawai.
Seperti aksi di Polda, massa menegaskan tidak akan membubarkan diri sebelum tuntutan dipenuhi. Tim kajian hukum dari BEM Fakultas Hukum Unand turut terlibat dalam merumuskan dasar argumentasi aksi ini.
Aksi bertajuk “Sumbar Melawan” ini dilengkapi dengan aturan disiplin massa: peserta diminta mengenakan pakaian hitam, wajib bermasker atau menutup muka, serta membawa baju ganti. Barang berharga, identitas, dan senjata tajam dilarang keras dibawa. Massa juga diinstruksikan mengikuti jalur mitigasi saat terjadi chaos, melepaskan tanda pengenal, serta menghalangi aparat yang merekam aksi.
Tagar #IndonesiaCemas, #IndonesiaGelap, #IndonesiaDarurat, dan #RevolusiTotal digaungkan untuk memperkuat gema perlawanan yang digadang-gadang tidak hanya bergema di Sumbar, tetapi juga menjadi bagian dari gelombang protes nasional.

