‘Kita Semua Bersaudara’, Sam Sianata Sang Inspirator Persaudaraan jangan Mau Terpecah Belah  

Denpasar | AndoraNews: Sam, yang berasal dari etnis Tionghoa, mengalami diskriminasi saat tinggal di Yogyakarta. “Awalnya, saya lahir dengan nama Tionghoa Liem Sian An. Namun pada tahun 1972, saya harus mengubah nama karena pemerintah mewajibkan keturunan Tionghoa mengganti nama agar dapat bersekolah, terutama di era (Orba) Orde Baru pada zaman Pak Harto,” ungkapnya saat di wawancarai.

Setiap harinya, selain juga sebagai pengusaha, Sam berusaha memberikan kontribusi untuk Negara Indonesia. “Saya sangat mencintai negara ini. Saya ingin berkontribusi bagi bangsa dan negara. Karena cinta saya pada negara ini yang menyatukan kita semua, saya ingin berjuang agar tetap terjaga persatuan dan kedamaian. Oleh karena itu, saya memilih tema ‘Kita Semua Bersaudara’. Selain itu, saya juga diberi bakat oleh Tuhan untuk menciptakan lagu, puisi, dan kutipan, serta melukis di waktu senggang,” ujarnya.

Mengapa ia memilih tema ini? Menurut Sam, pengalaman hidupnya, terutama saat terjadi kerusuhan pada tahun 1998, mendorongnya untuk memperjuangkan semangat persaudaraan. Saat itu, ia bahkan harus melarikan diri dari Jakarta ke Manado karena kerusuhan tersebut.

Walaupun tinggal di Manado, Sam sering bepergian, termasuk ke Yogyakarta dan Bali. Di Yogyakarta, usahanya tetap berjalan dengan bantuan putranya, yaitu Kelvin Christian Yulianto. Di Bali, bersama istri dan cucunya, ia menikmati waktu di kawasan Kertadalem, Denpasar Selatan.

“Di sana, saya memiliki hubungan baik. Saya pernah mengajukan ide untuk kampanye ‘Kita Semua Bersaudara’ kepada Gubernur. Kami berdiskusi dan mendapatkan dukungan untuk menyebarkan pesan persaudaraan ini,” tutur Sam.

kita Semua Bersaudara

Sebagai aktivis penyatuan bangsa, Sam berharap agar Indonesia dapat kembali menjaga kedamaian. “Saat ini, kita menghadapi tantangan akhir zaman di mana nilai-nilai persaudaraan dan kasih sayang mulai memudar. Saya ingin menghidupkan kembali semangat ‘Kita Semua Bersaudara’ di seluruh Indonesia. Namun, kami terkadang terbatas oleh anggaran dan sumber daya manusia,” ungkapnya.

Sam juga menghadapi kendala sebagai seorang etnis Tionghoa yang mengalami penindasan saat tinggal di Yogyakarta. Karena itu, ia menambahkan nama “Meneer” sebagai simbol kekuatan. “Bukan untuk menentang pemerintah, tetapi untuk menunjukkan sikap kepada oknum yang berkuasa dan berperilaku feodal. Mereka harus menghormati rakyat dan tidak mempersulit kehidupan mereka. Ini berkaitan dengan pengalaman hidup saya di Jogja karena sebagai warga negara dan keturunan Tionghoa, saya merasa ada kebijakan yang diskriminatif,” jelasnya.

Sam berpendapat bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk menyuarakan pendapat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. AndNews (FF).

Trending

- Advertisement -
- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini