Jakarta | AndoraNews: Setiap tahun, Hari Pendidikan Nasional menjadi momen untuk merayakan semangat belajar. Tapi di balik upacara dan slogan indah, tahun ini kita dihadapkan pada kenyataan yang lebih getir: kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) masih merajalela dan lebih memilukan lagi, banyak dilakukan dengan bantuan orang tua. Curang
Apa yang sedang terjadi dengan pendidikan kita?
Devie Rahmawati, Associate Professor dari Vokasi UI, mengungkap fakta mengejutkan: orang tua kini lebih peduli hasil ketimbang proses. “Anak didorong untuk menang, bukan untuk benar. Mereka diajari jadi cerdas, tapi lupa diajari jujur,” tegasnya.
Bukan hanya Indonesia yang dilanda krisis ini. Studi global menunjukkan, nilai-nilai seperti integritas dan kerja keras kini tergeser oleh ambisi instan dan obsesi pada pencapaian semu. Orang tua tidak lagi menjadi teladan, melainkan sponsor dari praktik curang seolah keberhasilan bisa dibeli, dan nilai bisa dimanipulasi.
Penelitian bahkan menunjukkan bahwa anak pertama kali belajar berbohong bukan dari internet atau teman sebaya, tapi dari rumah. Dari orang tuanya.
Namun di tengah gempuran ini, masih ada harapan.
SMA Kemala Taruna Bhayangkara mengambil pendekatan berbeda: mereka tak hanya menyaring siswa, tapi juga mengevaluasi orang tuanya. Lewat wawancara keluarga, sekolah ini memastikan bahwa pendidikan karakter bukan hanya tugas guru, tapi tanggung jawab bersama.
“Kami ingin tahu nilai apa yang dibawa pulang anak setiap hari,” ujar Prof. Dedi Prasetyo, Ketua Yayasan. “Karakter tidak tumbuh dari soal ujian, tapi dari kebiasaan yang dicontohkan orang tua.”
Momentum Hari Pendidikan Nasional harusnya bukan tentang lomba dan seremonial belaka. Ini saatnya bertanya: benarkah kita sedang mendidik generasi hebat? Atau justru memoles generasi pemalsu?
Pendidikan sejati tumbuh dari rumah, dari kejujuran yang sederhana, dan dari keberanian orang tua untuk tidak ikut jalan pintas. Masa depan anak-anak kita tidak butuh sponsor kebohongan mereka butuh orang tua yang jadi teladan. (*)